Copyright © Ummu Sumayyah's Online Market
Design by Dzignine
Wednesday 29 January 2014

Mencari Kunci Syurga Yang Kekal Abadi

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah

Ibarat sebuah pintu, syurga juga memerlukan sebuah kunci untuk dibuka pintu-pintunya. Namun, tahukah pembaca-pembaca sekelian apa kunci syurga itu? Bagi yang mengimpi-impikan syurga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi kalian tidak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada umatnya apakah kunci syurga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:

“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk syurga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).

Ternyata, kunci syurga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu syurga akan dibuka kepada kita? Bukankah begitu ramai manusia siang dan malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih berdoa dan beribadah (meminta) kepada selain Allah, percaya kepada dukun dan bomoh dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Adakah mereka-mereka ini juga boleh membuka pintu syurga dengan kalimat Laa ilaahaa illallah sahaja? Sudah tentu tidak mungkin!

Dan ketahuilah, yang namanya kunci itu pasti ada geriginya. Begitu juga dengan kunci syurga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia juga bergerigi. Jadi, pintu syurga itu hanya boleh dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi sahaja.

Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahawa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a negeri Yaman yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci syurga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci ada geriginya. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, pasti pintu syurga itu akan dibukakan untukmu!”

Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu ada syarat-syaratnya. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada lapan, iaitu:

1. Al ‘Ilmu (mengetahui)

Maksudnya kita harus mengetahui erti (makna) Laa ilaaha illallah yang benar. Adapun makna yang betul bagi Laa ilaaha illallah adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, nescaya dia akan masuk syurga.” (HR. Muslim).

Seandainya kita mengucapkan kalimat tersebut, tetapi tidak mengerti maknanya yang betul, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.

2. Al Yaqin (Meyakini)

Maksudnya kita harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk syurga.” (HR. Muslim).

3.  Al Qobul (Menerima)

Maksudnya kita harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Kita tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:

Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).

4. Al Inqiyad (Tunduk Patuh)

Maksudnya kita harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam semua amal-amal kita. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Kembalilah ke jalan Rabbmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).

Allah Ta’ala juga berfirman:

Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).

5. Ash Shidq (Jujur atau Benar)

Maksudnya kita harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.

Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

6. Al Ikhlas (Ikhlas)

Maksudnya kita harus membersihkan amalan kita dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

7. Al Mahabbah (Cinta)

Maksudnya kita harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya.” (Al-Baqarah: 165).

Dari sini kita tahu bahawa setiap Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah disamping mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah..

8. Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)

Maksudnya kita harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga kita harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kukuh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).

Wahai semua kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci yang tidak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu syurga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta kali banyaknya. Kerana itu perhatikanlah!

Wallahu a’lamu.

Sumber:  Ustadz Agus Suaidi
Sunday 26 January 2014

Besarnya Kedudukan Seorang Ibu

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyusukannya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Ku lah kembalimu. (Luqman: 14)


Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyusunya adalah tiga puluh bulan….(Al-Ahqaf: 15)

Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajipan dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandingkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:

Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua. (An-Nisa`:36)

Ayah dan ibu sama-sama mempunyai peranan dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bahagian dan kedudukan yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan seorang ibu ketika mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kesukaran. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyusunya dalam dua tahun. (Luqman: 14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada perintah untuk berbuat baik kepada kaum kerabat. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sebab didahulukannya ibu adalah kerana banyaknya kesukaran dan kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping besarnya kasih sayangnya, layanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)

Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua misalnya apabila bertutur dengan keduanya gunalah perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya, melayani dan mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang selebihnya untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi.

Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.(Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menjadi dalil untuk menyatakan bahwa masa kehamilan yang paling minima iaitu enam bulan. Kerana masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)

Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peranan agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih sayang disusunya setiap kali si anak memerlukan. Tidak kira siang ataupun malam sehingga kadang-kadang tiada langsung waktu istirehatnya. Kepayahan demi kepayahan dilaluinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya kemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga setelah kedua ibu bapanya meninggal dunia, si anak harus menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keldai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya serban dipakainya kepada orang itu. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu duhulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)

Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal soleh) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)

Kerana berbakti kepada orang tua–khususnya ibu telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak memerlukan perayaan Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan memberi cuti rehat kepadanya dari pekerjaannya pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya setiap masa. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justeru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata-mata mengikut budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.

Contoh Anak yang Berbakti

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)

Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, kisah Abu Hurairah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa:

Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”

Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)

Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dia terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusatnya. Dia memiliki seorang ibu dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau boleh memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)

Haramnya Derhaka kepada Ibu

Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Lawan bagi perkataan berbakti adalah berbuat derhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan derhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:

Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat derhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Derhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits sahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian juga berbuat derhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan derhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan derhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Kerananya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan derhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)

Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahawa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya berbicara selama-lamanya sampai anaknya Sa'ad mahu meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anuti.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengan melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh pengsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Lalu si ibu mendoakan keburukan untuk Sa’d. Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. (Al-Ankabut: 8)

Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….

Dalam ayat tersebut dinyatakan:

Maka janganlah engkau mentaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan ma’ruf. (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 4742)

Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Kafir / Musyrik

Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeza agama dengannya/ kafir. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Mumtahanah: 8-9)

Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrik di masa perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan puterinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)

Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang menyatakan:

Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al-Mujadilah: 22)
Juga ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang taat setia dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (At-Taubah: 23)

Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam tafsir ‘Athiyyah Muhammad Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154), “Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat menyurat, dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah termasuk kesetiaan yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` kerana permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu dibolehkan Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, kepada mereka ini kita dilarang untuk taat setia apabila bentuk taat setia tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)

Wallahu a’lam.

Sumber: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Monday 20 January 2014

Rahsia Rumahtangga Bahagia Dan Diberkati Allah

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Setiap keluarga muslim pasti mengimpikan ketenteraman dan ketenangan dalam rumah yang mereka diami. Samada dia seorang suami, seorang isteri, ataupun sebagai seorang anak. Semua inginkan rumah mereka seperti kata orang: Baiti jannati, rumahku adalah syurgaku. Tidak semestinya rumah yang besar dan dilengkapi dengan perabot yang mewah itu tenang.

Rumah yang barokah adalah rumah yang apabila kita masuk dan berada di dalamnya kita akan merasa tenteram dan tenang. Misalnya apabila seorang suami pulang dari kerja, apabila ia masuk saja ke rumahnya, didapatinya rahah (lapang). Lelah dan kepenatannya akan hilang saat bertemu dengan isteri dan anak-anaknya. Ketenangan menyelimutinya. Manakala seorang isteri pula akan merasa senang apabila  berdiam dalam rumahnya. Karena memang seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum hawa:


وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Tetaplah kalian tinggal di rumah kalian. (Al-Ahzab: 33)

Suasana dalam rumah juga turut mendukung timbulnya rasa senang tersebut. Anak-anak juga akan merasa senang dalam rumah mereka walaupun rumahnya kecil dan sederhana. Kerukunan dan kasih sayang sentiasa terjalin di antara anggotanya. Gambaran seperti yang kita ungkapkan tentunya menjadi keinginan setiap insan. Lalu, apakah rahsianya untuk mewujudkan baiti jannati tersebut?

Di antara faktor yang sangat penting adalah menjauhkan rumah dari para setan. Kenapa demikian? Karena setan merupakan musuh anak Adam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh.” (Fathir: 6)

Yang namanya musuh itu sudah tentu akan berupaya mencari kesempatan untuk mencelakakan dan menghancurkan orang yang dimusuhinya. Salah satu sasaran utama setan adalah merosak sebuah keluarga, menghancurkan ikatan di antara anggota-anggotanya. Iblis akan bergembira apabila anak buahnya setan berhasil memisahkan seorang isteri dari suaminya. Sebagaimana kabar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Sesungguhnya iblis meletakkan singgahsananya di atas air lantas ia mengirim kan tentera-tenteranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan isterinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.(HR. Muslim no. 7037)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan bahwa iblis bermarkaz di lautan, dan dari situlah ia mengirim tentera-tenteranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan suami dengan isterinya, karena kagum dengan apa yang dilakukan si anak buah dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki iblis. Iblis pun merangkulnya. (Al-Minhaj, 17/154-155)

Kata Al-Imam Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu, hadits ini menunjukkan besarnya perkara firaq (perpisahan suami dengan istrinya) dan talak, serta besarnya kemudharatan dan fitnahnya. Selain itu juga menunjukkan besarnya dosa orang yang berupaya memisahkan suami dari isterinya. Kerana dengan berbuat demikian bererti memutuskan hubungan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk disambung, menceraiberaikan rahmah dan mawaddah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan di dalamnya, serta merobohkan rumah yang dibangun dalam Islam. (Ikmalul Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 8/349)

Iblis dan bala tenteranya ini berusaha menghancurkan hubungan suami dengan isterinya. Sementara suami dan isteri ini tentunya bernaung dalam sebuah rumah. Maka sudah tentunya setan tidak akan tenang jika  tidak dapat masuk ke dalam rumah tersebut. Bila setan telah berhasil mendiami sebuah rumah, nescaya ia akan menebarkan kerosakan di dalamnya, sehingga terjadilah perselisihan di antara anak-anak dan perpisahan antara suami dengan isterinya. Berubahlah mawaddah (kasih sayang) menjadi ‘adawah (permusuhan), rahmah menjadi azab.

Dengan penjelasan di atas, maka barulah kita sedar kenapa kita harus membentengi rumah kita dari setan yang terkutuk.

Di antara perkara yang boleh kita lakukan untuk membentengi rumah kita adalah:


1. Mengucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir
2. Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika makan dan minum
3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah
4. Membaca secara khusus surah Al-Baqarah dalam rumah
5. Banyak melakukan solat sunnah/nafilah dalam rumah.
6. Membersihkan rumah dari suara setan
7. Membuang loceng dari rumah
8. Tidak menempatkan gambar dan patung berbentuk makhluk bernyawa di dalam rumah
9. Tidak memelihara anjing atau membiarkan anjing masuk ke dalam rumah

1. Mengucapkan salam ketika masuk rumah dan banyak berzikir, baik di rumah itu ada orang atau tidak.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Disenangi seseorang mengucapkan bismillah dan banyak berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mengucapkan salam, sama saja apakah dalam rumah itu ada manusia atau tidak, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Apabila kalian masuk ke rumah-rumah maka ucapkanlah salam (kepada penghuninya yang bererti memberi salam) kepada diri-diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkahi lagi baik. (An-Nur: 61) [Al-Adzkar, hal. 25]

Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menetapkan bahwa pendapat yang menyatakan rumah secara umum merupakan pendapat yang sahih, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan. Kalau rumah itu adalah rumah orang lain, maka ia ucapkan salam dan meminta izin kepada tuan rumah sebelum masuk ke dalamnya. Bila rumah itu kosong ia ucapkan, “As-salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin” (Semoga keselamatan untuk kami dan untuk para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih). Demikian kata Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Namun bila dalam rumah itu ada keluarganya, anak-anaknya dan pembantunya, ia ucapkan “Assalamu ‘alaikum.” Namun kata Ibnul Arabi rahimahullahu, bila rumah itu kosong maka tidak diharuskan seseorang mengucapkan salam ketika hendak masuk. Adapun bila engkau masuk rumahmu sendiri disenangi bagimu untuk berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengatakan: “Masya Allah la quwwata illa billah.” (Ahkamul Qur’an, 3/1408-1409)

Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


"Ada tiga golongan yang mereka seluruhnya berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala: (Pertama) seseorang yang keluar berperang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam syurga, atau mengembalikannya (ke keluarganya) dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Kedua) seseorang berangkat ke masjid maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya lalu memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya dengan pahala dan ghanimah yang diperolehnya. (Ketiga) seseorang masuk ke rumahnya dengan mengucapkan salam maka ia berada dalam jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2494). Makna jaminan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berada dalam penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al-Adzkar, hal. 26)

2. Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika makan dan minum. 

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila seseorang masuk ke rumahnya lalu ia berzikir kepada Allah saat masuknya dan ketika hendak menyantap makanannya, berkatalah setan, “Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam.” Bila ia masuk rumah dalam keadaan tidak berzikir kepada Allah ketika masuknya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam.” Bila ia tidak berzikir kepada Allah ketika makannya, berkatalah setan, “Kalian mendapatkan tempat bermalam sekaligus makan malam.” (HR. Muslim no. 5230)

Berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengusir setan dari rumah kita sehingga setan tidak dapat menyertai kita saat makan dan tidur. Sementara, lalai dari zikrullah akan memberikan kesempatan emas bagi setan karena ia mendapati tempat menginap serta makan malamnya. Tentunya setan ini tidak sendirian. Bersamanya ada kawan-kawannya, gerombolan setan, karena setan mengucapkan ucapan demikian kepada teman-teman, pembantu-pembantu, dan sahabatnya. (Al-Minhaj, 11/191)

Sehingga mereka menyesakkan rumah dan bersenang-senang di dalamnya, na’udzu billah. Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita lalai dari berzikir karena zikir merupakan hishnul muslim, benteng bagi seorang muslim.

3. Banyak membaca Al-Qur’an dalam rumah

Al-Qur’anul Karim akan mengharumkan rumah seorang muslim dan akan mengusir para setan. Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah atrujah, baunya harum dan rasanya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, tidak ada baunya namun rasanya manis. Adapun orang munafik yang membaca Al-Qur’an permisalannya seperti buah raihanah, baunya wangi tapi rasanya pahit. Sementara orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah hanzhalah, tidak ada baunya, rasanya pun pahit.” (HR. Al-Bukhari no. 5020 dan Muslim no. 1857)

Apa persangkaan anda apabila seorang mukmin sering menghiasi rumahnya dengan membaca dan mentartilkan kalamullah? Tidak lain tentunya kebaikan.

Disamping itu, membaca Al-Qur’an di rumah dengan penuh kekhusyukan menjadikan para malaikat akan bersama kita. Seperti kejadian yang pernah dialami seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Usaid ibnu Hudhair radhiyallahu ‘anhu. Suatu malam Usaid tengah membaca Al-Qur’an di tempat pengeringan kurma miliknya. Tiba-tiba kudanya melompat. Ia membaca lagi, kudanya melompat lagi. Ia terus melanjutkan bacaannya dan kudanya juga melompat. Usaid berkata, “Aku pun kuatir sampai bila kuda itu menginjak Yahya (putra Usaid, pen.), hingga aku bangkit menuju kuda tersebut. Ternyata aku dapati di atas kepalaku ada semacam naungan. Di dalamnya seperti lentera-lentera yang terus naik ke udara sampai aku tidak melihatnya lagi (hilang dari pandanganku). Di pagi harinya aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Usaid kemudian menceritakan apa yang dialaminya, setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:


Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca Al-Qur’an niscaya di pagi harinya manusia akan dapat melihat naungan tersebut, tidak tertutup dari mereka. (HR. Muslim no. 1856)

4. Membaca surah Al-Baqarah dalam rumah

Bila engkau merasa di rumahmu demikian banyak masalah, tampak banyak penyimpangan dan anggota-anggotanya saling berselisih, maka ketahuilah setan hadir di rumahmu, maka bersungguh-sungguhlah mengusirnya. Bagaimanakah cara mengusirnya? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawabannya dengan sabda beliau:


“Sesungguhnya segala sesuatu ada puncaknya dan puncak dari Al-Qur’an adalah surah Al-Baqarah. Sungguh setan bila mendengar dibacakannya surah Al-Baqarah, ia akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah tersebut.”
 (HR. Al-Hakim, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 588)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:


Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surah Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 1821)

5. Banyak melakukan solat nafilah/sunnah di rumah

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
Jadikanlah bagian dari solat kalian di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Al-Bukhari no. 432 dan Muslim no. 1817)

Dalam syariat disebutkan larangan solat di kuburan. Kerananya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menjadikan rumah kita seperti kuburan, dengan tidak pernah dilakukan ibadah di dalamnya. Beliau menggalakkan kita agar melakukan solat sunnah untuk dikerjakan di dalam rumah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan kita untuk mengerjakan solat nafilah (sunnah) di rumah, karena hal itu lebih ringan dan lebih jauh dari riya, lebih menjaga dari perkara yang dapat membatalkannya. Juga dengan mengerjakan solat nafilah di rumah akan memberi keberkahan bagi rumah tersebut. Akan turun rahmah di dalamnya, demikian pula para malaikat. Sementara setan akan lari dari rumah tersebut.” (Al-Minhaj, 6/309)

Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوْبَةَ
Seharusnya bagi kalian untuk mengerjakan solat di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik solat seseorang adalah di rumahnya terkecuali solat wajib.” (HR. Al-Bukhari no. 731 dan Muslim no. 1822 )

6. Membersihkan rumah dari suara setan


Sebuah hadits dari sahabat yang mulia, Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, mengingatkan kita bahwa nyanyian, muzik dan alat-alat yang seangkatan dengannya bukanlah perkara yang terpuji, namun lebih dekat kepada azab. Abu Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat muzik. Ada sekelompok orang yang tinggal di lereng puncak gunung. Setiap petang seorang penggembala membawa (memasukkan) haiwan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu keperluannya, berkatalah mereka kepada si fakir, ‘Besok sajalah kamu datang!’ Maka di malam harinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala azab mereka dengan ditimpakannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya. Sementara yang selamat dari mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala ubah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 5590)

Muzik dan lagu merupakan perkara yang jelas keharamannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan.(Luqman: 6)


Menurut sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, juga pendapat Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka– ayat ini turun berkenaan dengan muzik dan nyanyian. (lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, hal. 142-144)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sampai mengatakan, “Muzik/nyanyian akan menumbuh suburkan kemunafikan di dalam kalbu.” (Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi dan Al-Baihaqi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 10)

Al-Imam Malik rahimahullahu ketika ditanya tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian, beliau menjawab, “Sungguh menurut kami, orang-orang yang melakukannya adalah orang fasik.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal rahimahullahu dalam Al-Amru bil Ma’ruf dan Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam Talbis Iblis hal. 244 dengan sanad yang shahih)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Telah sepakat ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)

Dari penjelasan di atas, jelaslah bagi kita haramnya nyanyian sebagai suara setan. Maka bila dalam sebuah rumah selalu disenandungkan lagu-lagu dan diputar muzik, nescaya setan akan menempati rumah tersebut. Setan ini tentunya tidak sendiri. Ia akan memanggil bala tentaranya dari segala penjuru, lalu mereka menebarkan kerusakan dalam rumah tersebut serta membuat perselisihan serta perpecahan, kemarahan, dan kebencian di antara anggota-anggotanya. Kerananya, janganlah kita menjadikan rumah kita sebagai sarang setan, tempat mereka beranak-pinak.

7. Membuang loceng dari rumah

Bila sekiranya di rumah kita ada loceng-loceng yang digantung serupa dengan naqus/lonceng gereja dalam hal suara ataupun model/bentuknya, walaupun tujuan kita hanya sebagai hiasan, maka singkirkanlah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang disampaikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
اLoceng itu adalah seruling setan.” (HR. Muslim no. 5514)

Masih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia memberitakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Para malaikat tidak akan menyertai perkumpulan/rombongan yang di dalamnya ada anjing atau loceng (yang biasa dikalungkan di leher haiwan).” (HR. Muslim no. 5512)

Para malaikat adalah tentara Ar-Rahman. Mereka selalu berada dalam permusuhan dengan tentara setan. Maka, bila di suatu tempat tidak ada tentara Ar-Rahman, siapa gerangan yang menguasai tempat tersebut? Tentu para tentara setan. Apa sebabnya para malaikat menjauhi loceng? Ada yang mengatakan kerana jaras/loceng menyerupai naqus yang biasa dibunyikan di gereja. Ada pula yang berpandangan karena loceng termasuk gantungan yang terlarang bila dipasang di leher. Ada juga yang berpendapat karena suara yang ditimbulkannya. 

Pendapat yang akhir ini diperkuat dengan riwayat:
اLoceng itu adalah seruling setan.” (Al-Ikmal 6/641, Al-Minhaj 13/321)

Yang umum kita lihat, loceng-lnceng itu digantungkan di leher haiwan peliharaan. Dari loceng tersebut keluarlah suara berirama bila haiwan yang memakainya berjalan atau menggerak-gerakkan lehernya. Tentunya menggantung loceng seperti ini dibenci dengan dalil hadits di atas.

8. Tidak menempatkan/menggantungkan gambar makhluk bernyawa dan patung di dalam rumah


Gambar dan patung yang berupa/berbentuk makhluk bernyawa (haiwan dan manusia) harus disingkirkan dari rumah, terkecuali boneka untuk mainan anak perempuan, demikian kata Al-Qadhi rahimahullahu. (Al-Minhaj, 14/308)

Namun boneka ini tidak boleh dalam bentuk yang lengkap, sebagaimana jawapan Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ketika ditanya tentang masalah ini. (lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, no. 329, 2/227-278)5

Makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, para malaikat, tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung. Sementara seperti yang telah kita katakan, bila para malaikat keluar dari rumah, niscaya yang bersarang di dalam rumah tersebut adalah para setan karena rumah itu adalah rumah yang buruk.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah membeli namruqah yang bergambar (makhluk hidup) Namruqah adalah bantal-bantal yang disusun berdekatan satu dengan lainnya, atau bantal yang digunakan untuk duduk. (Fathul Bari, 10/478). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat namruqah tersebut beliau hanya berdiri di depan pintu, enggan untuk masuk ke dalam rumah. Aisyah radhiyallahu ‘anha pun mengetahui ketidaksukaan tampak pada wajah beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha berucap:

Aku bertaubat kepada Allah, apa gerangan dosa yang kuperbuat?” Rasulullah menjawab, “Untuk apa namruqah ini?” “Aku membelinya agar engkau boleh duduk di atasnya serta menjadikannya sebagai sandaran,” jawab Aisyah. Rasulullah kemudian memberikan penjelasan, “Sungguh pembuat gambar-gambar ini akan diazab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ’Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’ dan sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar (makhluk bernyawa) tidak akan dimasuki para malaikat.” (HR. Al-Bukhari no. 5957 dan Muslim no. 5499)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung atau gambar-gambar.” (HR. Muslim no. 5511)

9. Tidak memelihara anjing atau membiarkan anjing masuk ke dalam rumah 

Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Para malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.” (HR. Al-Bukhari no. 3225 dan Muslim no. 5481)

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan:

Jibril berjanji kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendatangi beliau di suatu waktu. Maka tibalah waktu tersebut namun ternyata Jibril tak kunjung datang menemui beliau. Ketika itu di tangan beliau ada sebuah tongkat, beliau melemparkan tongkat tersebut dari tangan beliau seraya berkata, “Allah dan para utusannya tidak akan menyelisihi janjinya.” Beliau lalu menoleh dan ternyata di bawah tempat tidur ada seekor anjing kecil. Beliau berkata, “Ya Aisyah, bila anjing itu masuk ke sini?” “Saya tidak tahu,” jawab Aisyah. Beliau lalu menyuruh anjing itu dikeluarkan. Setelah itu datang Jibril. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau berjanji kepadaku untuk datang di waktu tadi, aku pun duduk menantimu namun ternyata engkau tidak kunjung datang.” Jibril memberi alasan, “Anjing yang tadi berada dalam rumahmu mencegahku untuk masuk karena sungguh kami tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan tidak pula masuk ke rumah yang ada gambar.” (HR. Muslim no. 5478)

Dengan demikian, haram bagi seorang muslim memelihara anjing tanpa ada keperluan, terkecuali anjing untuk berburu, anjing penjaga kebun, atau penjaga haiwan ternak/peliharaan, sebagaimana pengecualian yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang akan datang penyebutannya. Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah? Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Satu pendapat mengatakan tidak boleh sesuai zahir hadits yang ada. Namun pendapat yang paling sahih menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu adalah boleh dikeranakan ada keperluan, wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 10/480)

Barangsiapa yang memelihara anjing tanpa keperluan maka ia terkena ancaman hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Siapa yang memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing berburu berkurang dua qirath pahala amalannya setiap hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5482 dan Muslim no. 3999)

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menyatakan, anjing itu memiliki beragam warna, namun khusus anjing berwarna hitam dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai setan ketika dipertanyakan kepada beliau, “Apa bedanya anjing merah atau anjing putih dengan anjing hitam?” Beliau menjawab:

Anjing hitam adalah setan.

Anjing hitam ini bila lewat di hadapan orang yang sedang solat akan memutus solat orang tersebut sehingga ia harus mengulangi solatnya dari awal. Demikian pula bila anjing ini lewat di antara orang yang solat dan sutrahnya.

Oleh itu marilah kita sama-sama berusaha untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata'la dengan sebenar-benar takwa dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi segala larangannya mudah-mudahan kehidupan kita diberkati Allah di dunia dan di akhirat. 

Wallahu a’lam 

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah


Saturday 18 January 2014

Cara Memilih Belacan Yang Betul

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah

Entri kali ini saya akan berkongsi dengan pembaca sekelian tentang sejenis bahan atau perisa masakan yang diperbuat daripada udang yang diproses dan dimampatkan. Ia mempunyai bau yang kuat tetapi sedap dan berkhasiat dimakan. Masyarakat melayu memang tidak boleh dipisahkan dengan bahan ini iaitu belacan. Belacan diproses daripada isi udang laut yang bersaiz kecil dan setelah siap diproses boleh disimpan lama untuk kegunaan masakan. Belacan yang popular di Malaysia biasanya dihasilkan di sepanjang perkampungan nelayan di tepi-tepi laut contohnya kalau di Kedah belacan yang terkenal adalah belacan Tanjung Dawai dan Kuala Kedah. Begitu juga di Melaka, Pulau Pinang dan Perlis.

Sejak dari dulu lagi saya tidak pernah membeli belacan di kedai-kedai runcit atau belacan yang dokomersialkan dari kilang kerana saya tidak tahu tahap kebersihannya dan bahan yang di campur dalam belacan. Sesetengah pengusaha akan mencampurkan bahan pewarna berbahaya seperti 'Rhodamine B' yang boleh menyebabkan kanser untuk mencantikkan warna belacan yang lebih menarik.

Dari dulu hingga sekarang saya pasti akan menggunakan belacan asli yang diusahakan sendiri oleh orang kampung. Kalau dahulu ketika saya tinggal di Kuala Lumpur belacan yang sering menjadi pilihan saya adalah belacan Melaka dan Tanjung Dawai sekiranya saya balik utara. Tetapi sekarang setelah saya menetap terus di utara belacan yang menjadi pilihan saya sekeluarga adalah belacan Kuala Perlis. Kenapa saya jatuh cinta dengan belacan Kuala Perlis kerana saya sendiri sudah pergi melihat bagaimana suasana orang-orang kampung di sana menghasilkan belacan. Mereka menggunakan udang-udang segar yang baru ambil dari laut. Begitu juga dengan keadaan persekitaran tempat mereka menghasilkan belacan amat bersih sekali. Saya tidak nampak pun binatang-binatang seperti anjing, ayam, kucing serta lalat berkeliaran di tempat mereka menghasilkan belacan.

Belacan merupakan salah satu bahan bagi menghasilkan sambal belacan. Sambal belacan merupakan menu sampingan yang boleh dikatakan wajib bagi keluarga saya. Rasanya kalau hidangan yang tidak ada sambal belacan seperti tidak lengkap kerana suami saya amat menggemari ulam-ulaman dicicah dengan sambal belacan. Walaupun berlaukkan hanya ikan goreng bersama sambal belacan serta ulam-ulaman ia tetap menyelerakan tetapi dengan syarat sambal belacan yang dibuat mestilah yang sedap. Rahsianya kita perlu menggunakan belacan yang sedap sudah pasti hasil sambal belacan kita juga tidak mengecewakan.

Cubalah rasa belacan Kuala Perlis ini hubungi saya 019 2270840 boleh juga whatsapp.

Harga sebekas RM5 (Tidak termasuk kos penghantaran) 




















Monday 13 January 2014

Minyak Telon Plus

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah



http://hbc-safecare.com/wp-content/uploads/2010/05/minyaktelonplus.jpg

Ada tiga jenis minyak yang menjadi teman setia keluarga saya iaitu minyak Aromatheraphy, ubat gosok Pegal Linu dan akhir sekali Minyak Telon Plus. Yang istimewanya ketiga-tiga jenis minyak ini adalah keluaran Safe Care dari Indonesia. Berbalik kepada entri kali ini tentang Minyak Telon Plus.

Biasanya semua anak-anak saya sejak dari awal kelahiran lagi, setiap kali selepas mandi saya akan sapukan minyak angin untuk elakkan mereka dari masuk angin dan kembung perut. Minyak yang saya gunakan sejak dari anak sulung saya lagi ialah minyak telon. Kenapa saya memilih minyak telon kerana minyak telon ini akan memberikan rasa hangat kepada badan bayi dengan merangsang pembuluh darah membesar sehingga aliran darah menjadi lebih cepat. Aroma minyak telon juga dapat memberikan rasa tenang pada bayi.

Tetapi kalau dahulu saya menggunakan minyak telon dari berbagai-bagai keluaran ada dari nyonya meneer, ada dari bebiku dan banyak lagi keluaran minyak telon yang saya gunakan. Tetapi di antara banyak-banyak keluaran yang saya kekal sehingga sekarang adalah minyak Telon Plus keluaran Safe Care.

Minyak Telon Plus Safe Care ini dibuat dari Oleum Cajuputi, Oleum Foeniculi, Oleum Cocos, Lavender Oil, Jojoba Oil, ia menghasilkan aroma yang harum dan berkhasiat untuk melegakan kembung perut, masuk angin dan mencegah gigitan nyamuk terutama untuk bayi. Selain itu kandungan jojoba oil juga boleh melembut dan melembabkan kulit yang kering begitu juga dengan kandungan lavender oil ia boleh membantu untuk menenangkan fikiran dan akan membuat tidur lebih nyaman.

Yang istimewanya, minyak Telon Plus ini bukan sahaja sesuai untuk bayi malah ia juga sesuai untuk semua peringkat umur. Saya akan oleskan minyak telon itu pada anak saya sekiranya mereka terkena gigitan nyamuk atau gatal-gatal badan.

Cubalah, kalian pun pasti akan menyukainya. Dari bayi hingga ke orang dewasa, semua boleh gunakan minyak ini. Sangat selesa dan tidak melekit pada badan. Anda tidak perlu bimbang, selama saya menggunakannya ia tidak ada kesan sampingan seperti kulit melupas atau panas pada kulit. Hubungi saya 019 2270840 Ummu Sumayyah.


Kemasan :
Botol kaca 30ml roll on 

Harga : RM12 per botol
Wednesday 8 January 2014

Iktibar Di sebalik Bencana

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah

Cuba kita renungkan dan hayati betul-betul firman Allah dalam ayat di bawah.

“Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahawa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong. Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Wahai Rabb kami, beri tangguhlah kami  walaupun dalam waktu yang sedikit, nescaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan kami akan mengikuti rasul-rasul”. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah dahulu kalian telah bersumpah bahawa sekali-kali kalian tidak akan binasa? Dan kalian telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagi kalian bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepada kalian beberapa perumpamaan”. (Ibrahim: 42-45).

Ayat di atas sudah semestinya telah menyedarkan kita tentang erti dari sebuah kehidupan.
 
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan azab Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu dhuha ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga itu)?. Tidaklah ada yang merasa aman terhadap azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Al-A’rof: 97-99).

Kita harus mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang telah berlaku sebelum-sebelum ini,  bukankah beberapa tahun yang lalu telah terjadi bencana besar di Aceh?, ribuan nyawa melayang, jutaan harta hilang dan hancur disebabkan oleh tsunami? Selepas itu terjadi pula bencana di Bantul-Jogjakarta, ribuan jiwa melayang, ratusan rumah hancur dan jutaan harta hilang dan binasa disebabkan gempa bumi?.

Wahai umat manusia!, sampai bila kita akan sedar dan kembali kepada Yang Menciptakan kita? Walaupun kita di Malaysia, kita berasa aman daripada bencana-bencana seperti itu tetapi ingatlah siapa yang menyangka baru-baru ini terjadi banjir besar melanda negeri-negeri di pantai timur itupun baru sedikit ujian Allah kepada kita tetapi natijahnya banyak kemusnahan harta benda yang mengakibatkan anggaran kerugian bernilai puluhan juta ringgit.

Ingatlah ketika Allah Ta’ala mengazab kaum Nuh dengan banjir besar, Dia berkata kepada Nabi-Nya Nuh ‘Alaihis Salam:

“Dan buatlah kamu bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan-Ku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”. (Hud: 37).

Allah Ta’ala sebutkan bahwa kaum Nuh adalah termasuk orang-orang zalim, dan kata “zalim” adalah bersifat umum, mencakup syirik, ma’siat dan bid’ah. Luqman Ash-Shiddiq Rodhiyallohu ‘Anhu berkata tentang syirik sebagaimana yang Alloh Ta’ala sebutkan di dalam kitab-Nya:
Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang besar“. (Luqman: 13).
Kaum Nuh diazab karena mereka melakukan kesyirikan, kema’siatan dan mengadakan kebid’ahan (perkara) baru dalam agama yang dibawa oleh Adam ‘Alaihis Salam, oleh sebab itu, Alloh Ta’ala azab mereka dengan banjir yang besar, Alloh Ta’ala berkata:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku, jika terasa berat bagi kalian tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepada kalian) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, kerana itu bulatkanlah keputusan kalian dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutu kalian (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusan kalian itu dirahsiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kalian memberi tangguh kepadaku.  Jika kalian berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari kalian. Upahku tidak lain hanyalah dari Alloh semata, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami menyelamatkannya dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu”. (Yunus: 71-73).

Apa yang kami tuliskan ini semoga cukup sebagai peringatan bagi umat manusia di muka bumi supaya mereka sedar dan kembali kepada Rabb mereka, jika mereka tidak mahu sedar maka cukup peringatan ini sebagai hujah dan alasan untuk Alloh Ta’ala timpakan azab, Allah Ta’ala berkata:
“Dan tidaklah Robbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang utusan yang akan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”. (Al-Qoshshosh: 59).

Sudah sangat cukup hujahnya Alloh Ta’ala untuk Dia membinasakan penduduk suatu tempat, kerana mereka (para penduduknya) telah membuat banyak kezaliman, diantaranya:

1. Menentang Da’wah Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang Dibawa oleh Para Pengikut Setianya
Mereka menentang da’wah itu dengan tujuan membela agama yang mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, maka ini adalah termasuk dari sebab datangnya azab Allah Ta’ala atas mereka, Alloh Ta’ala berkata:

“Ikutilah oleh kalian apa yang diturunkan kepada kalian dari Robb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain-Nya. Sangat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya). Betapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari. Maka tidak ada keluhan dari mereka di waktu datang kepada mereka siksaan Kami, kecuali mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim”. (Al-A’rof: 3-5).

2. Kemaksiatan Tersebar Luas Dengan Berbagai Macam Bentuknya.

Bila kita melihat masyarakat kita di zaman ini, maka tentu kita mendapati mereka di atas kerusakan etika, akhlak, dan mereka jauh dari adab-adab yang islami. Berleluasanya maksiat berdua-duaan bersama pasangan,  perzinaan, homoseks, perjudian, perompakan, riba, rasuah, penindasan dan kezaliman-kezaliman lainnya terjadi di mana-mana. Begitu juga dengan homoseks, lesbian, perzinaan antara guru dengan muridnya, siswa dengan siswi, mahasiswa dengan mahasiswi, perzinaan antara anak dengan ibunya, bapak dengan putrinya, saudara dengan saudari sekandungnya terjadi di mana-mana, bahkan dengan bangga mereka menceritakan perbuatan keji itu kepada orang lain, mereka menuliskan di majalah-majalah, dan laman-laman sesawang dan sekarang ini di 'u-tube' mengisahkan tentang perbuatan jijik dan berahi mereka.

Apabila ada orang yang mengingkari perbuatan mereka itu, maka mereka membalas dengan ejekan, olok-olokan dan bahkan mereka berani menentang secara terang-terangan, bila mereka dikatakan sebagaimana perkataan Nabi Luth ‘Alaihis Salam kepada kaumnya yang Alloh Ta’ala sebutkan di dalam surat An-Naml ayat (54):

Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji itu sedang kalian adalah diberi penglihatan?“,

Maka mereka akan marah dan bahkan ada dari mereka akan berkata sebagaimana perkataan kaum Luth yang telah terangkan di dalam Al-Qur’an:

“Maka tidak lain jawapan kaumnya, melainkan mereka mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negeri kalian; karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang (menda’wakan dirinya) suci”. (An-Naml: 56).

Bila keadaan mereka sudah seperti itu maka tinggal kita menunggu bilakah azab Allah Ta’ala akan turun kepada mereka, karena dengan sebab perbuatan seperti itu Allah Ta’ala azab kaum Luth, Allah Ta’ala berkata:

 “Dan Kami turunkan hujan atas mereka dengan hujan batu yang sebenar-benarnya, maka sangat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu”. (An-Naml: 58).

Maka tidakkah takut bagi mereka yang masih terus bergelimang ke dalam maksiat itu?
Al-Bukhoriy meriwayatkan di dalam “Sahih“nya (no. 3346) dan Muslim di dalam “Sahih“nya (no. 2880) dari hadits Zainab bintu Abi Salamah dari Ummu Habibah bintu Abi Sufyan dari Zainab bintu Jahsyin, dia bertanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

“Apakah kita akan binasa, padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang soleh?”. Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

Iya, jika telah banyak kekejian“.


3. Sebab-Sebab Terangkatnya Azab

Bila suatu kaum benar-benar mentauhidkan Allah Ta’ala maka tentu Allah Ta’ala tidak akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat, teringat kita akan kisah ketika gunung merapi meletus di sekitar Jokjakarta tidak berapa lama dahulu, hal demikian itu disebabkan masyarakat di daerah tersebut melakukan kesyirikan dan berbagai macam kemaksiatan. Gunung sudah mengeluarkan asapnya, kota dan perkampungan sudah ditutupi asap, mbah Marijan (bomoh gunung) masih saja tetap memerintahkan masyarakat untuk berbuat syirik, mempersembahkan sajian, dan berbagai macam bentuk kesyirikan lainnya dilakukan, maka tidak hairanlah kalau kemudian Allah Ta’ala timpakan dengan bala’ dan azab yang besar.
Kalau seandainya masyarakat dan penduduk suatu daerah benar-benar mentauhidkan Alloh Ta’ala, mereka hanya berdoa kepada-Nya, mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya maka tentu Alloh Ta’ala akan angkat bala’ dan azab itu, Alloh Ta’ala berkata:

Dan tidaklah Allah mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (kepada-Nya). (Al-Anfal: 33).

Sungguh benar janji Allah Ta’ala, bahawa sesiapa sahaja yang kembali kepada-Nya dan berdoa hanya kepada-Nya maka Dia akan kabulkan doa mereka, Dia akan selamatkan mereka dari berbagai macam bala’ dan petaka, sebagaimana Allah Ta’ala telah selamatkan para nabi-Nya ketika mereka berdoa hanya kepada-Nya:

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia menyeru Rabbnya: “(Wahai Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Arhamurrohimin (Yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang), maka Kamipun mengabulkan doanya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rohmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli, semua mereka termasuk orang-orang yang sabar. Kami telah memasukkan mereka kedalam rahmat Kami, sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang solih. Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia berdoa di dalam kegelapan (di perut ikan): “Bahwa tidak ada Sesembahan selain Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”, maka Kami mengabulkan doanya dan Kami menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala dia menyeru Rabbnya: “Wahai Rabbku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi warisan”, maka Kami mengabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya boleh hamil, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harapan dan rasa takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. (Al-Anbiya’: 83-90).

Barangsiapa mentaati Allah dan mentaati rasul-Nya maka sungguh Allah Ta’ala menjaganya di dunia dan di akhirat. Walaupun di dunia dia mendapat cubaan dan ujian maka anggaplah itu sebagai penghapus dosa-dosanya dan di akhirat dia termasuk dari orang-orang yang beruntung dan meraih kemenangan, Alloh Ta’ala berkata:


“Dan barangsiapa yang mentaati Alloh dan mentaati Rosul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang meraih kemenangan”. (An-Nur: 52).

Wallahu'alam

 sumber : Ummu Jasmine Laila binti Sulhadi.