Copyright © Ummu Sumayyah's Online Market
Design by Dzignine
Tuesday 18 March 2014

Kemana Tumpahnya Kuah Kalau Tidak Ke Nasi

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah

Entri kali ini khas ditujukan kepada saya khususnya serta semua ibu bapa amnya.. di mana seperti yang kita semua maklumi bahawa kebelakangan ini banyak tersiar di media-media tentang keruntuhan moral anak-anak terutamanya anak-anak melayu yang mengaku diri mereka beragama islam.   

Wahai para ibu bapa yang mulia...ketahuilah, bahawa segala amal dan perbuatan yang kita lakukan, sesungguhnya memiliki pengaruh yang sangat besar kepada anak-anak kita samada ia menjerumus kepada kebaikan atau keburukan. Didikan serta amal yang baik yang kita berikan kepada mereka akan memberi menafaat yang sangat besar bagi mereka di dunia dan di akhirat. Begitulah sebaliknya, di mana amal-amal buruk kita dan kemaksiatan (dosa-dosa besar) yang kita lakukan akan mempengaruhi serta memberi kesan yang buruk pula terhadap pendidikan serta tumbesaran anak-anak kita.
Yang pastinya pengaruh-pengaruh di atas akan datang dalam berbagai bentuk. Adakalanya berupa keberkahan anak-anak yang solih dan pahala yang besar yang akan disediakan untuk mereka. Atau sebaliknya, di mana berupa kesengsaraan di dunia dan di akhirat, serta murka Allah kepadanya dan akibat-akibat buruk lainnya.
Oleh karena itu, para ibu bapa haruslah memperbanyakkan amal solih, kerana pengaruhnya akan terlihat pada anak-anaknya. Hal tersebut banyak ditunjukkan oleh dalil-dalil seperti berikut :
Pertama : 

Perhatikanlah kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ‘alaihi salam di dalam Al-Qur’an, seperti yang tersebut dalam surat Al-Kahfi. Ketika itu, Nabi Musa dan Nabi Khidir singgah di sebuah desa, dan berharap dijamu oleh penduduknya, tetapi ternyata mereka enggan menjamu keduanya. Maka sebelum kedua Nabi itu pergi, mereka melihat ada dinding yang hampir roboh, Nabi Khidir pun berupaya menegakkannya. Maka Nabi Musa berkata kepada Nabi Khidir :
“Kalau kamu mahu, mintalah bayaran (atas jerih payahmu itu). 
(QS Al-Kahfi : 77).
Kemudian Nabi Khidir menjelaskan alasan mengapa beliau menegakkan dinding yang hampir roboh itu, dengan berkata :
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah dan ibunya adalah seorang yang solih.
 (QS Al-Kahfi : 82)
Perhatikanlah, dalam ayat yang mulia tersebut Allah Ta’ala menjaga harta pusaka (peninggalan) anak yatim ini sebagai balasan atas amal soleh kedua orang tuanya. Tentunya, harta tersebut dahulunya diusahakan oleh kedua orang tua anak yatim itu dari sumber yang halal. Sehingga kerana kesolihan orang tuanya, maka Allah menjaga harta tersebut sebagai warisan yang bermanfaat bagi anak-anaknya.
Kedua :

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khuatirkan (kesejahteraan mereka). Oleh sebab itu, hendaklah mereka (para orang tua) bertakwa kepada Alloh dan mengucapkan perkataan yang benar. (QS An-Nisa’ : 9)
Firman Allah Ta’ala tersebut di atas menjelaskan adanya hubungan yang erat antara perkataan yang baik atau yang buruk, dengan keadaan anak-anak yang akan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ertinya, bila kedua orang tua benar-benar menginginkan kebaikan anaknya di masa-masa yang akan datang, hendaknya para orang tua selalu berkata yang baik dan yang benar, serta mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya menurut tuntutan agama. Sebaliknya, bila orang tua berkata-kata yang buruk terhadap anak-anaknya dan tidak memperhatikan kebaikan pendidikan mereka, maka hal itu akan mengakibatkan kesan yang buruk bagi masa depan anak-anaknya. Oleh karena itu wahai para ibu bapa yang mulia, hendaklah kita bertakwa kepada Allah dan ucapkanlah selalu perkataan yang baik dan benar, khususnya dalam urusan anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita.
Ketiga : 

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

 Ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa  “Wahai Robb-ku, wahai Robb-ku.” Padahal makanannya haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dengan makanan yang haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan doanya? 

(HR Imam Muslim no. 1015, At-Tirmidzi no. 2989, dan Imam Ahmad 2/1328) 
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahawa makanan dan minuman serta pakaian yang halal merupakan salah satu sebab makbulnya doa. Sedangkan makanan dan minuman serta pakaian yang didapat dari usaha yang haram, akan menyebabkan tertolaknya (tidak dikabulkannya) doa seseorang. Hal itu juga menunjukkan, amal-amal solih kita atau amal-amal buruk yang kita lakukan, mempunyai pengaruh yang besar bagi terkabulnya doa kita, lebih-lebih bila kita berdoa untuk kebaikan anak-anak kita.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai orang tua benar-benar selalu memperhatikan amal-amal kita. Hendaknya kita selalu bertakwa kepada Allah dan bersemangat dalam melakukan amal-amal solih, agar doa kita untuk kebaikan anak-anak kita benar-benar didengar dan dikabulkan oleh Allah Ta’ala.
Keempat 

Para ulama salaf dahulu pernah berkata kepada anak-anaknya : “Wahai anakku, aku akan membaguskan solatku, agar engkau mendapat kebaikan.”Menurut sebahagian ulama, makna ucapan ini adalah : “Aku akan memperbanyakkan solatku, dan berdoa kepada Allah untuk kebaikanmu.”  
Artinya di sini adalah : Bila kedua orang tua rajin beribadah dengan memperbanyakkan solat (terutama solat-solat sunnah), membaca Al-Qur’an dan lain-lain, maka hal itu akan memberikan pengaruh kebaikan bagi anak-anaknya. Bahkan apabila kita sering melakukan ibadah-ibadah tersebut di dalam rumah kita. maka rumah kita akan dipenuhi rahmat dan ketenangan oleh Allah Ta’ala.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : 

Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (yakni masjid), untuk membaca kitabulloh, dan saling mempelajari diantara mereka, melainkan ketenangan akan turun di atas mereka, rahmat akan meliputi mereka, para malaikat akan menundukkan sayapnya untuk mereka (kerana menghormati dan memuliakan mereka), dan Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.”

 (HR Imam Muslim no. 2699 dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)
Maka dengan turunnya rahmat dan ketenangan di rumah kita, tentu hal ini akan memberi pengaruh yang baik terhadap anak-anak. Sebaliknya, bila Al-Qur’an ditinggalkan, dan orang tua lalai dari membaca Al-Qur’an dan lalai dari berdzikir kepada Alloh, saat itulah syaitan-syaitan yang akan mendatangi dan menghuni rumah-rumah kita. Apalagi rumah-rumah yang dipenuhi oleh nyanyian-nyanyian dan muzik-muzik, gambar-gambar makhluk bernyawa yang diharamkan untuk dipamerkan, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya. Tentu, ini semua akan memberikan pengaruh-pengaruh yang buruk bagi anak-anak, dan mendorong mereka untuk selalu berbuat maksiat serta kerosakan.
Wahai para ibubapa yang bijaksana…, dalil-dalil dan keterangan di atas cukup untuk menjadi peringatan dan pelajaran bagi orang-orang yang menginginkan kebaikan bagi putra-putrinya. Kerana itu, marilah kita sama-sama berazam untuk memperbaiki diri dan akhlak kita dengan beribadah kepada Allah, semuanya itu demi untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga untuk kebaikan anak-anak kita.
Ingatlah wahai para ibu bapa.., seorang anak yang melihat ayahnya selalu berdzikir, mengucapkan tahlil, tasbih, tahmid dan takbir serta dzikir yang lainnya, nescaya dia akan meniru atau mengikut mengucapkan kalimat-kalimat tersebut juga. Demikian pula seorang anak yang dibiasakan oleh ayahnya untuk bersedekah kepada fakir miskin dan mereka yang memerlukan, tentu berbeza dengan anak-anak yang biasa disuruh ayahnya untuk membeli rokok atau membeli minuman yang memabukkan.
Seorang anak yang biasa melihat ayahnya berpuasa Isnin dan Khamis serta selalu melaksanakan solat juma’at dan solat berjema’ah di masjid, tentu tidak sama dengan anak-anak yang melihat ayahnya suka melepak di warung-warung atau kafe-kafe, di disko-disko atau di pusat-pusat karaoke. 
Seorang anak yang sering mendengarkan adzan yang dikumandangkan dari masjid dan segera menyambutnya dengan bersegera solat berjama’ah di masjid, tentu berbeza dengan anak-anak yang sering mendengarkan ayahnya “berkaraoke” (bernyanyi). Anak-anak itu pasti akan meniru apa yang dia dengar dan dilakukan oleh orang tuanya.
Seorang anak yang melihat ayahnya biasa solat di malam hari, lalu menangis kerana takut kepada Allah, membaca Al-Qur’an dan lain-lain, tentu mereka akan berfikir dan bertanya : “Mengapa ayahku menangis ? Mengapa ayahku solat ? Untuk apakah ayah meninggalkan tidur di atas katil yang empuk, lalu dia justeru bangun dan berwudhu dengan air yang dingin di tengah malam seperti ini ? Untuk apakah ayahku sedikit tidur di malam harinya, dan berdoa dengan penuh pengharapan dan diliputi kecemasan ? Semua pertanyaan ini akan berputar di benak si kecil, lalu bi idznillah (dengan izin Allah Ta’ala), dia insyaAllah,  akan mencontohi apa yang dilakukan oleh ayahnya.
Demikian halnya dengan seorang anak gadis, ketika melihat ibunya berjilbab dan “berhijab” dari laki-laki lain yang bukan mahramnya, berhias dengan akhlak yang mulia, tenang dan menjaga kesucian dirinya, insyaAllah anak gadis itu juga akan mempelajari dan meniru dari ibunya akhlak mulia tersebut.
Berbeza dengan anak-anak gadis yang selalu melihat ibunya berdandan dan bersolek di depan para lelaki yang bukan mahramnya, berjabat tangan dengan mereka, berikhlat (bercampur dan berkumpul bersama laki-laki dan wanita tanpa batasan/hijab), duduk-duduk dan berborak dengan laki-laki lain, tertawa-tawa dan tersenyum bahkan menari-nari tanpa segan silu bersama mereka, tentu anak-anak gadis itu akan mempelajari dan meniru semua itu dari ibunya.
Kerana itulah, wahai para ibu bapa yang mulia…., takutlah kita semua kepada Allah, khususnya dalam mendidik putra-putri kita. Jadilah kita semua tauladan dan contoh yang baik bagi anak-anak, berhiaslah dengan akhlak yang tinggi dan mulia, dan berpeganglah selalu dengan tuntunan syari’at agama ini, insyaAllah kita sebagai ibu bapa dan putra-putri kita akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Wallohu a’lamu.
Semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi saya dan para ibu bapa serta siapa saja yang boleh mengambil faedah darinya, aamiin. 

(Sumber : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)

            
Monday 10 March 2014

Puri Buah Markisa

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah

Pokok Markisa atau juga dikenali sebagai buah susu atau "passion fruit"' merupakan sejenis pokok yang menjalar. Buahnya yang rasa sedikit masam dan manis boleh dimakan begitu sahaja ataupun dijadikan minuman. Bijinya juga boleh dimakan.

Buah markisa memiliki kandungan serat yang tinggi oleh itu ia sangat baik untuk sistem percernaan. Kulit buah markisa yang bewarna unggu kemerah-merahan dan isinya yang bewarna oren menunjukkan bahawa buah ini kaya dengan antioksidan. Antioksidan berfungsi untuk menghalang pertumbuhan sel kanser dalam tubuh. Buah markisa memiliki air dan antioksidan yang larut dalam lemak. Salah satu antioksidan utama yang ditemukan dalam buah ini adalah beta-karoten. Buah markisa ini juga paling kaya dengan vitamin C dan Vitamin A. Kedua-dua vitamin ini boleh membantu meningkatkan kualiti penglihatan dan membantu dalam melawan infeksi, membuat kulit sihat bersinar dan membantu pertumbuhan sel. 

Bagi sesiapa yang sukar untuk mendapatkan buah markisa ini, jangan bimbang kini syarikat Puri Asli telah mengeluarkan puri markisa. Sesiapa yang berminat bolehlah menghubungi atau whatsapp saya.

019-2270840 - Ummu Sumayyah.
019-2790952 - Wan. 
Harga : RM35 / kg





Ini adalah contoh Buah Markisa.






Dan ini adalah sample puri markisa yang kami jual.


Wednesday 5 March 2014

Melentur Buluh Biar Dari Rebungnya

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kesan yang besar  apabila usia mereka semakin meningkat kelak. Jiwa kanak-kanak yang suci akan meniru apa-apa sahaja yang mereka dengar. Selain dari itu, tahap kepekaan dan memori anak -anak kecil ini juga sangat menakjubkan.


Oleh itu, tidak hairanlah kita jika kita dapati di kalangan ulama-ulama dahulu dan orang-orang soleh serta tokoh-tokoh besar yang kukuh ilmunya bermula sejak dari kanak-kanak lagi seperti  Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah. Begitu juga di kalangan sahabat-sahabat nabi, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi.


Jika dilihat dalam sejarah kehidupan mereka, kita boleh membuat kesimpulan bahawa, mereka-mereka ini telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak dari usia kanak-kanak lagi dan dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap peribadi mereka.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:


Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Dalam hal sebegini, kita dapati peranan ibu bapa juga amat penting dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dari kecil dan mengasuh mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu bersama putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majlis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu.

Begitu juga Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang selalu mengasuh putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha selalu menghantarkan anaknya untuk mempelajari dan memperolehi faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur lapan tahun. Maka ibuku pun membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Ansar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu kepadamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau memukulku, tidak pernah mencelaku mahupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah ibu saudara Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudara kepada Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas), pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana solat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidak pernah luntur. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Ansar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, untung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Menghairankan sekali engkau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang perlu kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mula bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun ambil selendangku lalu dijadikan bantal di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak engkau utuskan saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Ansar tersebut) melihatku dalam keadaan orang-orang memerlukanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia kecil ini adalah asuhan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang boleh didapati dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehinya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu mahupun majlis-majlis para ulama, bonda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada wang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kau dapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan serban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru kepada Al-Imam Malik rahimahullahu), pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, itu tidak mengurangkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab (tempat anak-anak kecil belajar baca dan tulis Al-Qur’an), namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tidak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk ku belikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu ku tulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun berbeza dengan keadaan anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Ada sesetengah ibu bapa yang tidak langsung memperdulikan tentang pendidikan agama anak-anak mereka. Adakah kita akan membiarkan keadaan ini terus berlangsung? Tepuk dada tanyalah iman.

Wallahu a’lam

Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran