Copyright © Ummu Sumayyah's Online Market
Design by Dzignine
Wednesday 5 March 2014

Melentur Buluh Biar Dari Rebungnya

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kesan yang besar  apabila usia mereka semakin meningkat kelak. Jiwa kanak-kanak yang suci akan meniru apa-apa sahaja yang mereka dengar. Selain dari itu, tahap kepekaan dan memori anak -anak kecil ini juga sangat menakjubkan.


Oleh itu, tidak hairanlah kita jika kita dapati di kalangan ulama-ulama dahulu dan orang-orang soleh serta tokoh-tokoh besar yang kukuh ilmunya bermula sejak dari kanak-kanak lagi seperti  Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah. Begitu juga di kalangan sahabat-sahabat nabi, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi.


Jika dilihat dalam sejarah kehidupan mereka, kita boleh membuat kesimpulan bahawa, mereka-mereka ini telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak dari usia kanak-kanak lagi dan dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap peribadi mereka.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:


Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan. (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Dalam hal sebegini, kita dapati peranan ibu bapa juga amat penting dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dari kecil dan mengasuh mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu bersama putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majlis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu.

Begitu juga Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang selalu mengasuh putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha selalu menghantarkan anaknya untuk mempelajari dan memperolehi faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur lapan tahun. Maka ibuku pun membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Ansar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu kepadamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tidak pernah beliau memukulku, tidak pernah mencelaku mahupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah ibu saudara Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudara kepada Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas), pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana solat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidak pernah luntur. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Ansar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, untung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Menghairankan sekali engkau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang perlu kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mula bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun ambil selendangku lalu dijadikan bantal di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak engkau utuskan saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Ansar tersebut) melihatku dalam keadaan orang-orang memerlukanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia kecil ini adalah asuhan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang boleh didapati dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehinya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu mahupun majlis-majlis para ulama, bonda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada wang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kau dapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan serban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru kepada Al-Imam Malik rahimahullahu), pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, itu tidak mengurangkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab (tempat anak-anak kecil belajar baca dan tulis Al-Qur’an), namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tidak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk ku belikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu ku tulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun berbeza dengan keadaan anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Ada sesetengah ibu bapa yang tidak langsung memperdulikan tentang pendidikan agama anak-anak mereka. Adakah kita akan membiarkan keadaan ini terus berlangsung? Tepuk dada tanyalah iman.

Wallahu a’lam

Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

0 comments:

Post a Comment