Teks : Ummu Sumayyah
Sebab itu, sifat malu penting untuk dipelihara dan dijaga. Jangan terpengaruh dengan sistem pendidikan barat yang mengajar anak mereka supaya tidak malu. Kebanyakan wanita sekarang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berpakaian, bergaul, dan gaya hidup moden lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena yg dimaksudkan itu. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan merupakan salah satu cabang keimanan.
Sifat malu sudah sememangnya menjadi identiti wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya khusus milik kaum hawa sahaja, malahan kaum adam juga disukai bila memiliki sifat malu ini. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Kerana dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraihnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”
Dalam satu riwayat:
“Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan. Apabila sifat malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itulah bersabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis pingitan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Abu Sa’id Al-Khudri, di mana beliau membuat permisalan kepada kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan apabila melihat pada hari ini anak-anak gadis perawan kita telah menanggalkan rasa malu mereka? Mereka bebas keluar rumah pergi ke pasar, pusat-pusat membeli belah, menonton wayang, berbincang-bincang akrab dengan para teman-teman lelaki, pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikianlah kenyataan pahit yang terjadi sekarang ini.
Sebahagian kaum muslimin juga membiarkan puteri-puteri mereka dan isteri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Kerana telah tercabut dari mereka rasa kecemburuan. Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu keburukan kepada yang lebih buruk lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakikatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah ta`ala haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik dan nyanyian?
Saudariku muslimah… wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.
Kala dikau sendiri dalam kegelapan
Sedang jiwa mengajakmu untuk berbuat nista
Maka malulah dikau dari pandangan Al-Ilah
Dan katakan pada jiwamu:
Dzat yang menciptakan kegelapan ini senantiasa melihatku
Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabut tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya.
Saudariku muslimah… bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan buruk perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan sentiasa mereka agungkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seseorang yang sedang mencela saudaranya kerana sifat malunya, maka beliau bersabda:
“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Jama`ah)
Saudariku muslimah… perlu kita ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila kita tidak mahu bertanya tentang perkara agama yang samar bagi kita, karena Allah ta`ala berfirman:
“Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata ketika itu: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Ya, jika ia melihat keluarnya air mani.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya dan berbincang-bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang tidak sepatutnya melihatkan auratnya.
Ketahuilah wahai saudariku…tidak sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang boleh membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: “Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?”
Seorang puteri Anas, ketika mendengar kisah ini, memberi komen tentang wanita itu: “Alangkah sedikit rasa malunya!”
Anas berkata: “Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan dirinya kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna)
Semoga Allah sentiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…!
Wallahu a`lam.
Sumber : Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
0 comments:
Post a Comment