Copyright © Ummu Sumayyah's Online Market
Design by Dzignine
Sunday, 26 January 2014

Besarnya Kedudukan Seorang Ibu

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyusukannya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Ku lah kembalimu. (Luqman: 14)


Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya dengan menyusunya adalah tiga puluh bulan….(Al-Ahqaf: 15)

Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada orangtua sebagai suatu kewajipan dalam agama yang mulia ini. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla menggandingkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam ayat:

Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatupun serta berbuat baiklah kepada kedua orang tua. (An-Nisa`:36)

Ayah dan ibu sama-sama mempunyai peranan dalam hal memiliki hak terhadap anaknya untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bahagian dan kedudukan yang lebih besar dalam hal beroleh bakti. Kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ditanya oleh seorang sahabatnya:

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata menukilkan ucapan Ibnu Baththal rahimahullahu, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh karena kesulitan seorang ibu ketika mengandung, kemudian melahirkan lalu menyusui. Tiga perkara itu dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia merasakan kesukaran. Kemudian ibu menyertai ayah dalam memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyusunya dalam dua tahun. (Luqman: 14)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan Dia mengkhususkan ibu dalam tiga perkara (mengandung, melahirkan dan menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada perintah untuk berbuat baik kepada kaum kerabat. Ibu adalah yang paling berhak mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sebab didahulukannya ibu adalah kerana banyaknya kesukaran dan kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di samping besarnya kasih sayangnya, layanannya, kepayahan yang dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)

Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya terhadap surat Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat baik kepada kedua orangtua misalnya apabila bertutur dengan keduanya gunalah perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang ditanggung oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya, melayani dan mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu yang selebihnya untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi.

Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.(Al-Baqarah: 233)

Ayat di atas menjadi dalil untuk menyatakan bahwa masa kehamilan yang paling minima iaitu enam bulan. Kerana masa menyusui (sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 bulan). Bila diambil dua tahun (24 bulan) dari masa 30 bulan maka tersisalah enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)

Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peranan agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan lebih, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih sayang disusunya setiap kali si anak memerlukan. Tidak kira siang ataupun malam sehingga kadang-kadang tiada langsung waktu istirehatnya. Kepayahan demi kepayahan dilaluinya dengan penuh kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya kemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain berbakti kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya. Bahkan juga setelah kedua ibu bapanya meninggal dunia, si anak harus menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no. 6461)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan hadits di atas dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya. Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu Abdullah di jalanan di Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keldai yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya serban dipakainya kepada orang itu. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu duhulunya sahabat yang dikasihi oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya‘.” (HR. Muslim no. 6460)

Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu. Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut. “Bertaubatlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal soleh) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla daripada berbakti kepada ibu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)

Kerana berbakti kepada orang tua–khususnya ibu telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak memerlukan perayaan Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau memberikan perhatian khusus kepadanya dan memberi cuti rehat kepadanya dari pekerjaannya pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat baik kepada ibunya setiap masa. Di setiap waktu dan di setiap keadaan tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justeru merupakan suatu perayaan yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata-mata mengikut budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada orangtua’ dalam budaya mereka.

Contoh Anak yang Berbakti

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata, “Kami sedang berada di sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata, “Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu dalam Al-Adabul Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)

Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam, kisah Abu Hurairah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun berdoa:

Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abu Hurairah.”

Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata, “Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha ilallah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Bergembiralah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)

Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani rahimahullahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Suatu saat nanti akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dia terkena penyakit belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar dirham di pusatnya. Dia memiliki seorang ibu dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan sumpahnya. Kalau engkau boleh memintanya agar memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah[2].” (HR. Muslim no. 6439)

Haramnya Derhaka kepada Ibu

Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Lawan bagi perkataan berbakti adalah berbuat derhaka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan derhaka ini, dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam:

Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat derhaka kepada para ibu ….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Derhaka kepada ibu adalah haram dan termasuk dosa besar, menurut kesepakatan para ulama. Betapa banyak hadits sahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian juga berbuat derhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi penyebutan derhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan derhaka kepada ayah) karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah. Kerananya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang siapakah yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena kebanyakan perbuatan derhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para ibu.” (Al Minhaj, 11/238)

Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahawa telah turun beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d (yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya berbicara selama-lamanya sampai anaknya Sa'ad mahu meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang engkau anuti.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengan melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh pengsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang bernama Umarah lalu memberinya minum. Lalu si ibu mendoakan keburukan untuk Sa’d. Allah ‘Azza wa Jalla pun menurunkan dalam Al-Qur’an, ayat berikut:

"Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya. (Al-Ankabut: 8)

Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….

Dalam ayat tersebut dinyatakan:

Maka janganlah engkau mentaati keduanya dan bergaullah kepada keduanya di dunia dengan ma’ruf. (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 4742)

Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Kafir / Musyrik

Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik dengan ibunya yang berbeza agama dengannya/ kafir. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Mumtahanah: 8-9)

Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrik di masa perjanjian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan puterinya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 2322)

Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah ‘Azza wa Jalla yang menyatakan:

Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al-Mujadilah: 22)
Juga ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di antara kalian yang taat setia dengan mereka maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (At-Taubah: 23)

Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam tafsir ‘Athiyyah Muhammad Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154), “Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku adil, berbicara lembut dan surat menyurat, dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah termasuk kesetiaan yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` kerana permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu dibolehkan Allah ‘Azza wa Jalla dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin, kepada mereka ini kita dilarang untuk taat setia apabila bentuk taat setia tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Kemudian berbakti, menyambung hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan sayang menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya, ‘Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’ Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi.” (Fathul Bari)

Wallahu a’lam.

Sumber: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

0 comments:

Post a Comment