Copyright © Ummu Sumayyah's Online Market
Design by Dzignine
Friday, 29 November 2013

Meraih Kemuliaan Hakiki Dengan Ilmu Yang Benar

Bismillah

Teks : Ummu Sumayyah


Walaupun banyak di antara kita yang menyedari bahawa hidup di dunia ini hanyalah sementara dan kita semua akan kembali ke kampung akhirat. Akan tetapi masih ada saja yang hatinya tertawan dengan dunia dan perhiasannya. Dunia, memang masih menjadi tujuan atau orientasi utama kebanyakan orang. Tidak hairanlah kemewahan, kekayaan. harta yang berlimpah ruah, pangkat, populariti, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan kebanyakan manusia siang dan malam. Padahal, kenyataannya dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan meninggalkan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang akan menjamin kehidupan sebenar manusia di akhirat nanti.

Siapa yang tidak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Hampir tidak ada ibubapa yang tidak memiliki harapan serta bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak-anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih di dalam buaian lagi, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan.  “Semoga anakku menjadi ‘orang’, semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapanya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu ….” dan sejuta angan-angan ‘semoga’ buat anaknya.

Tidak berhenti setakat itu sahaja, malah segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dari mula lagi. Mulai dari tabungan pendidikan seperti insuran, tabung amanah serta lain-lain perancangan telah disediakan. Berbagai pendidikan prasekolah juga di beri kepada anak-anak agar melancarkan lagi jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita kedua orangtuanya.

Namun di sebalik segala cita-cita itu, ada sebuah kemuliaan yang seringkali dilupakan, bahkan diremehkan oleh banyak ibubapa. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapati oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa darjat.”(Al-Mujadilah: 21)

Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat darjat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian darjat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam syurga. (Fathul Bari 1/186)

Mengapa tidak cukup dengan kedudukan dan kekayaan sebagai bekalan? Bukankah dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita tidak mengkaji sedalam-dalamnya. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِي مَالِهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ وَهُمَا فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dunia itu diberikan kepada empat golongan:

(1) Seorang hamba yang Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya dan menggunakan hartanya untuk menyambung tali silaturrahim dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu, maka dia berada pada darjat yang paling mulia di sisi Allah.

(2) Dan seorang hamba yang Allah kurniakan dengan ilmu namun tidak diberi harta, dia adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu pahala mereka berdua sama.

(3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta namun tidak dikurniakan ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya, dan tidak menggunakan hartanya untuk menyambung tali silaturrahim, dan tidak pula mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada darjat yang paling hina di sisi Allah.

(4) Dan seorang hamba yang tidak Allah beri harta mahupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama.”

(HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Dengan begitu, jelaslah bahwa sekadar bekalan harta sahaja tidak mencukupi bagi seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justeru nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam menguruskan harta yang dimilikinya. Itulah ilmu. Tentunya berbeza orang yang mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya, bagaikan perbezaan siang dan malam, sebagaimana Allah berfirman :

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Az Zumar: 9)

Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:

العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ

“Ilmu itu lebih baik daripada harta, kerana ilmu akan menjagamu sementara harta harus kita yang menjaganya. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan berkurang dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia.” (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:

بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)

Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berilmu. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)

Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ketika berkhutbah:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk mendapatkannya. Kerana semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)

Dari sini bisa difahami bahwa orang yang tidak memahami agama –dalam erti mempelajari kaedah-kaedah Islam dan segala yang berkaitan dengannya– bererti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan. (Fathul Bari, 1/217)

Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang soleh. Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlepas dari keutamaan seperti ini

‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk duduk di majlis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda didalam majlis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرُ: لأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا

“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah selesai, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih aku sukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari no. 4698)

Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidikan sejak dari kecil lagi dan benar-benar berpesan kepada si anak agar bersemangat dalam menuntut ilmu. Mereka betul-betul memberi perhatian kepada anak-anak dengan memberikan prasarana yang akan digunakan anak mereka dalam menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir (syair yang menyesatkan).” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)

Banyak gambaran dalam kehidupan salafush soleh yang menukilkan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu dengan segala rintangan. Bahkan mereka sanggup kehilangan harta demi perjalanan anak-anak mereka untuk menuntut ilmu agar kelak dapat memberikan menafaat kepada diri si anak sendiri khususnya dan kepada Islam dan kaum muslimin amnya.

Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan datang tanpa diundang dan dicari-cari. Tanpa mengira keturunan dan rupa paras. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia diperolehinya. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang bercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan baginya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak dikalangan ulama yang tidak memiliki nasab yang boleh dibanggakan dan tidak punya wajah yang rupawan.”

Oleh karena itu, ibubapa hendaklah selalu berusaha membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan memberi semangat kepada mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk menuntut ilmu yang benar, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan memberikan mereka ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berpehujungnya syurga Allah yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Wallahu’alam.

Sumber : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

0 comments:

Post a Comment